Asal mula nama kota "GARUT "
Tidak asik rasanya apabila saya tidak mengenal sejarah kota Garut, karena menghabiskan masa kecil di Garut dan sempat menimba ilmu di SD Cintasari "Malayu"Samarang Kabupaten Garut.
Bahkan saya pun di lahirkan di Garut walaupun akhirnya saya menghabiskan masa remaja kemudian lebih banyak di Bandung,tidak bisa di pungkiri di Kota Garut saya begitu banyak menyimpan kenangan masa kecil yang menyenangkan.
Kalou ngomongin sejarah kota garut saya akui lebih banyak saya dengar dari cerita2 alm Nenek dan Kakek saya ,dan itu pun tidak lepas dari cerita2 jaman penjajahan Jepang ,yang mereka2 itu ( orang jepang) sempat betah dan asik mengeruk sumber daya alam Republik ini .Dan di bawah komando pemerintah jepang kala itu Garut seakan lebih special barangkali karena Garut memiliki pantai pameumpeuk sebagai pusat mendaratnya koloni2 penjajah ini. Bekas2 peninggalan Belanda & Jepang berupa Bangunan Dermaga masih berdiri kokoh di sana .
Nah Maksud ungkapan saya tadi adalah tidak asik kalau saya juga lupa begitu saja sejarah kota Garut itu.kalou anda ingin tau perkembangan kota garut silahkan MAMPIR di SINI .ya .!
Jadi Menurut sejarah Pada tanggal 16 Pebruari 1813, Letnan Gubernur di Indonesia yang pada waktu itu dijabat oleh Raffles, telah mengeluarkan Surat Keputusan tentang Pembentukan Kabupaten Limbangan yang beribu kota di Suci. Untuk sebuah Kota Kabupaten, keberadaan Suci dinilai tidak memenuhi persyaratan sebab daerah tersebut kawasannya cukup sempit.
Berkaitan dengan hal tersebut, Bupati Limbangan Adipati Adiwijaya (1813-1831) membentuk panitia untuk mencari tempat yang cocok bagi Ibu Kota Kabupaten. Pada awalnya, panitia menemukan Cumurah, sekitar 3 Km sebelah Timur Suci. Akan tetapi di tempat tersebut air bersih sulit diperoleh, maka daerah tersebut dibatalkan. Saat ini kampung tersebut dikenal dengan nama Kampung Pidayeuheun. Selanjutnya panitia mencari lokasi ke arah Barat Suci, sekitar 5 Km dan mendapatkan tempat yang cocok untuk dijadikan Ibu Kota.
Selain tanahnya subur, tempat tersebut memiliki mata air yang mengalir ke Sungai Cimanuk serta pemandangannya indah dikelilingi gunung, seperti Gunung Cikuray, Gunung Papandayan, Gunung Guntur, Gunung Galunggung, Gunung Talaga Bodas dan Gunung Karacak. Saat ditemukan mata air berupa telaga kecil yang tertutup semak belukar berduri, Marantha seorang panitia “kakarut” atau tergores tangannya sampai berdarah.
Dalam rombongan panitia, turut pula seorang Eropa yang ikut membenahi atau “ngabaladah” tempat tersebut. Begitu melihat tangan salah seorang panitia tersebut berdarah, langsung bertanya: “Mengapa berdarah?” Orang yang tergores menjawab, tangannya kakarut. Orang Eropa atau Belanda tersebut menirukan kata kakarut dengan lidah yang tidak fasih sehingga sebutannya menjadi “gagarut”. "
Sejak saat itu, para pekerja dalam rombongan panitia menamai tanaman berduri dengan sebutan “Ki Garut” dan telaganya dinamai “Ci Garut”. Dengan ditemukannya Ci Garut, daerah sekitar itu dikenal dengan nama Garut. Cetusan nama Garut tersebut direstui oleh Bupati Kabupaten Limbangan Adipati Adiwijaya untuk dijadikan Ibu Kota Kabupaten Limbangan.
Pada tanggal 15 September 1813 dilakukan peletakkan batu pertama pembangunan sarana dan prasarana ibukota, seperti tempat tinggal dan alun-alun. Di depan pendopo, antara alun-alun dengan pendopo terdapat “Babancong” tempat Bupati beserta pejabat pemerintahan lainnya menyampaikan pidato di depan publik. Setelah tempat-tempat tadi selesai dibangun, Ibu Kota Kabupaten Limbangan pindah dari Suci ke Garut sekitar Tahun 1821.
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal No: 60 tertanggal 7 Mei 1913, nama Kabupaten Limbangan diganti menjadi Kabupaten Garut dan beribu kota Garut pada tanggal 1 Juli 1913. Kota Garut pada saat itu meliputi tiga desa, yakni Desa Kota Kulon, Desa Kota Wetan, dan Desa Margawati. Kabupaten Garut meliputi Distrik-distrik Garut, Bayongbong, Cibatu, Tarogong, Leles, Balubur Limbangan, Cikajang, Bungbulang dan Pameungpeuk.
Sesudah menjadi Kabupaten Garut, pada tanggal 14 Agustus 1925, berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal, Kabupaten Garut disahkan menjadi daerah pemerintahan yang berdiri sendiri (otonom). Wewenang yang bersifat otonom berhak dijalankan Kabupaten Garut dalam beberapa hal, yakni berhubungan dengan masalah pemeliharaan jalan-jalan, jembatan-jembatan, kebersihan, dan poliklinik.
Selama periode 1930-1942, Bupati yang menjabat di Kabupaten Garut adalah Adipati Moh. Musa Suria Kartalegawa. Ia diangkat menjadi Bupati Kabupaten Garut pada tahun 1929 menggantikan ayahnya Adipati Suria Karta Legawa (1915-1929).
Bupati yang menurunkan jabatannya secara langsung diantaranya Adipati Adiwijaya (1813-1831) kepada puteranya, Adipati Kusumadinata (1831-1833) dan Adipati Suria Kartalegawa (1915-1929) kepada puteranya Adipati Moh. Suria Kartalegawa (1929-1944), sedangkan bupati yang tidak langsung diantaranya Adipati Kusumadinata (1831-1833) diganti oleh menantunya , Tumenggung Jayadiningrat (1833-1871) dan Adipati Aria Wiratanudatar (1871-19150 diganti oleh keponakannya, Adipati Suria Karta Legawa (1915-1929).
PERKEMBANGAN FISIK KOTA
Sampai tahun 1960-an, perkembangan fisik Kota Garut dibagi menjadi tiga periode, yakni pertama (1813-1920) berkembang secara linear. Pada masa itu di Kota Garut banyak didirikan bangunan oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk kepentingan pemerintahan, berinvestasi dalam usaha perkebunan, penggalian sumber mineral dan objek wisata. Pembangunan pemukiman penduduk, terutama disekitar alun-alun dan memanjang ke arah Timur sepanjang jalan Societeit Straat.
Periode ke dua (1920-1940), Kota Garut berkembang secara konsentris. Perubahan itu terjadi karena pada periode pertama diberikan proyek pelayanan bagi penduduk. Wajah tatakota mulai berubah dengan berdirinya beberapa fasilitas kota, seperti stasiun kereta api, kantor pos, apotek, sekolah, hotel, pertokoan (milik orang Cina, Jepang, India dan Eropa) serta pasar.
Periode ketiga (1940-1960-an), perkembangan Kota Garut cenderung mengikuti teori inti berganda. Perkembangan ini bisa dilihat pada zona-zona perdagangan, pendidikan, pemukiman dan pertumbuhan penduduk.
KEADAAN UMUM KOTA
Pada awal abad ke-20, Kota Garut mengacu pada pola masyarakat yang heterogen sebagai akibat arus urbanisasi. Keanekaragaman masyarakat dan pertumbuhan Kota Garut erat kaitannya dengan usaha-usaha perkebunan dan objek wisata di daerah Garut.
Orang Belanda yang berjasa dalam pembangunan perkebunan dan pertanian di daerah Garut adalah K.F Holle. Untuk mengenang jasa-jasanya, pemerintah Kolonial Belanda mengabadikan nama Holle menjadi sebuah jalan di Kota Garut, yakni jalan Holle (Jl.Mandalagiri) dan membuat patung setengah dada Holle di Alun-alun Garut.
Pembukaan perkebunan-perkebunan tersebut diikuti pula dengan pembangunan hotel-hotel pada Tahun 1917. Hotel-hotel tersebut merupakan tempat menginap dan hiburan bagi para pegawai perkebunan atau wisatawan yang datang dari luar negeri. Hotel-hotel di Kota Garut , yaitu Hotel Papandayan, Hotel Villa Dolce, Hotel Belvedere, dan Hotel Van Hengel. ( gak tau juga apakah hotel2 ini masih berdiri megah karena saya lebih mengenal hotel Tirta Gangga,Hotel Cipanas Indah :P
Di luar Kota Garut terdapat Hotel Ngamplang di Cilawu, Hotel Cisurupan di Cisurupan, Hotel Melayu di Tarogong, Hotel Bagendit di Banyuresmi, Hotel Kamojang di Samarang dan Hotel Cilauteureun di Pameungpeuk. Berita tentang Indahnya Kota Garut tersebar ke seluruh dunia, yang menjadikan Kota Garut sebagai tempat pariwisata.
No comments:
Post a Comment